Jakarta – Aktor papan atas Indonesia, Reza Rahadian, kembali mengejutkan dunia perfilman dengan perannya yang terbaru dalam film biopik bertajuk “Burung Merak”, yang mengisahkan kehidupan dan perjuangan seniman legendaris W.S. Rendra. Film ini dijadwalkan tayang serentak di bioskop pada 20 Desember 2025, dan diprediksi menjadi salah satu rilisan film nasional paling penting dekade ini.
Dalam film tersebut, Reza tak hanya memerankan Rendra secara fisik, tapi juga menyelami dan menyalurkan jiwa penyair besar itu secara emosional dan spiritual, lengkap dengan adegan panggung, penulisan puisi, dan momen-momen krusial selama masa Orde Baru.
Produksi Kolosal yang Ditunggu-Tunggu
“Burung Merak” disutradarai oleh Mouly Surya, dengan naskah ditulis oleh tim riset yang bekerja sama dengan keluarga besar Rendra dan dokumentator budaya Indonesia. Proses riset dan penulisan skenario memakan waktu dua tahun, dengan rekonstruksi sejarah yang sangat cermat.
Film ini menyoroti lima fase utama dalam hidup W.S. Rendra:
-
Masa muda dan pergolakan pemikiran di Jogja.
-
Pendiri Bengkel Teater dan eksplorasi ekspresi tubuh.
-
Perjuangan sastra dan teater di bawah tekanan Orde Baru.
-
Pengasingan, penahanan, dan perlawanan kultural.
-
Kematangan spiritual dan kontribusi akhir bagi generasi muda.
Peran Transformasional Reza Rahadian
Reza Rahadian dikenal karena kemampuannya memerankan tokoh ikonik seperti B.J. Habibie, dan kini menantang dirinya dalam peran W.S. Rendra, sosok yang kompleks, karismatik, spiritual, dan juga kontroversial.
Untuk mendalami peran ini, Reza dikabarkan mengikuti pelatihan teater tubuh, membaca puluhan puisi dan esai Rendra, serta melakukan dialog panjang dengan para mantan murid Bengkel Teater.
“Ini bukan hanya soal meniru gestur atau suara Mas Rendra. Ini tentang menyelami ruhnya. Tentang rasa marah yang puitis, tentang cinta yang membebaskan,” ujar Reza saat konferensi pers peluncuran trailer.
Penggambaran Era Orde Baru dan Seni Sebagai Perlawanan
“Burung Merak” menjadi salah satu film berani yang merekonstruksi era represi budaya, dengan tampilan visual panggung teater yang terbakar oleh kritik dan simbol. Film ini juga memuat momen nyata seperti:
-
Larangan pementasan teater Rendra di TIM tahun 1978.
-
Pidato kebudayaan di depan mahasiswa yang sempat dicekal.
-
Perjuangannya membentuk Bengkel Teater sebagai ruang merdeka seni dan spiritualitas.
Sinematografi ditangani oleh Yadi Sugandi, menghadirkan gaya visual bergaya surealis yang kontras dengan realisme narasi. Komposer Tya Subiakto menciptakan musik latar berdasarkan irama gamelan kontemporer dan suara vokal manusia sebagai ekspresi kebebasan.
Dukungan Keluarga dan Apresiasi Budayawan
Keluarga besar W.S. Rendra, termasuk putranya Rendra Bagus Pamungkas, menyatakan dukungan penuh terhadap film ini. Mereka terlibat aktif dalam proses riset untuk menjaga keotentikan kisah pribadi sang penyair.
“Film ini bukan hanya potret ayah kami, tapi juga gambaran Indonesia yang pernah patah dan kemudian mencari suara kembali lewat seni,” kata Rendra Bagus dalam pernyataan tertulis.
Sejumlah budayawan seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaredjasa, dan Ayu Utami juga menyambut film ini sebagai langkah besar dalam memperkenalkan sejarah budaya kritis kepada generasi muda Indonesia.
Festival dan Rencana Tayang Internasional
Film “Burung Merak” telah diundang ke sejumlah festival film internasional sebelum perilisannya di Indonesia:
-
Toronto International Film Festival (TIFF) 2025
-
Busan International Film Festival
-
Rotterdam International Film Festival
Distributornya, Purwa Films, juga telah mengamankan slot pemutaran di Netflix Asia dan Amazon Prime Global pada awal 2026.
Penutup
Dengan “Burung Merak”, Reza Rahadian dan sineas Indonesia tak hanya membuat film—mereka membangkitkan kembali ingatan kolektif akan seni sebagai bentuk perlawanan, cinta, dan kebebasan. W.S. Rendra tak hanya akan dikenang lewat puisi-puisinya, tapi juga melalui layar lebar yang mengguncang dan menginspirasi.