
Jakarta, 15 Juli 2025 – Dunia perfilman Indonesia kembali mencetak sejarah setelah film “The Last Sunrise”, garapan sutradara muda Alya Zahrani, berhasil menembus kompetisi utama Festival Film Cannes 2025. Film ini bukan hanya menjadi film fiksi ilmiah (sci-fi) Indonesia pertama yang diputar di panggung film bergengsi dunia itu, tapi juga berhasil mencuri perhatian kritikus internasional berkat cerita orisinal, visual spektakuler, dan pesan ekologi yang kuat.
Diproduksi oleh rumah produksi independen Galaksi Pictures, dan dikerjakan selama hampir tiga tahun, “The Last Sunrise” menjadi simbol kebangkitan sinema genre di Indonesia — genre yang selama ini dianggap niche dan sulit dipasarkan.
Sinopsis: Ketika Matahari Tak Lagi Terbit
“The Last Sunrise” berlatar Indonesia tahun 2086, saat bumi telah mengalami anomali iklim ekstrem dan rotasi planet melambat akibat gangguan medan magnet. Matahari tidak lagi terbit seperti biasa, dan umat manusia menghadapi malam panjang yang membekukan.
Cerita mengikuti tokoh utama, Dr. Satria Noor, seorang astrofisikawan muda yang kembali ke kampung halamannya di Sumba untuk mengungkap rahasia kuno tentang “Langit Terakhir”, ramalan dalam manuskrip lontar kuno yang secara misterius memprediksi kondisi langit saat ini.
Dalam perjalanannya, Satria harus memilih antara ilmu pengetahuan modern atau kearifan leluhur untuk menyelamatkan bumi dari kegelapan abadi.
Kolaborasi Unik: Teknologi dan Budaya Nusantara
Salah satu kekuatan utama film ini adalah perpaduan antara teknologi mutakhir dengan unsur budaya lokal. Proses produksi melibatkan:
-
Teknologi CGI buatan studio lokal Animatika Studios, yang menciptakan simulasi cuaca planet, langit gelap magnetik, dan lanskap masa depan Indonesia.
-
Lokasi syuting di Sumba, Bromo, dan Kalimantan Tengah yang digarap dengan tone sinematografi gelap-eksotis oleh sinematografer Indra Primatama.
-
Penulisan naskah yang melibatkan filolog dan antropolog, agar mitologi dalam naskah lontar bisa diangkat secara akurat dan menghormati sumber aslinya.
Alya Zahrani, sutradara berusia 32 tahun yang sebelumnya dikenal lewat film pendek “Nebula di Tepi Sawah”, menyebut film ini sebagai bentuk “sains spiritual”:
“Saya ingin menyampaikan bahwa masa depan bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal ingatan dan warisan yang sudah lama kita abaikan.”
Pengakuan Dunia dan Reaksi Dalam Negeri
Film ini mendapat standing ovation selama 7 menit di Cannes, dan masuk nominasi Best Original Screenplay. Majalah film Prancis Cahiers du Cinéma menyebutnya sebagai:
“Campuran yang menggugah antara Nolan dan Wong Kar-Wai dengan jiwa tropis Indonesia.”
Sementara di Indonesia, trailer film yang dirilis awal Juli telah ditonton lebih dari 12 juta kali dalam 48 jam, menjadikannya film lokal dengan antisipasi tertinggi tahun ini.
Sejumlah kritikus dalam negeri menyebut film ini sebagai “monumen baru sinema Indonesia”, yang mampu menjembatani ambisi artistik dan isu kontemporer.
Isu Iklim dan Relevansi Global
“The Last Sunrise” juga secara cerdas memasukkan isu perubahan iklim sebagai inti narasi. Penonton diundang merenungi konsekuensi dari eksploitasi alam, dampak modernitas tanpa arah, dan pentingnya kearifan ekologis yang telah dimiliki leluhur kita.
Film ini bahkan digunakan dalam diskusi di UNESCO Youth Climate Forum 2025 dan menjadi bahan pembelajaran dalam program “Film for Future” di berbagai universitas internasional.
Penutup: Fiksi yang Membawa Harapan
“The Last Sunrise” menunjukkan bahwa film bukan sekadar hiburan, tapi juga sarana refleksi dan perubahan. Ia membuktikan bahwa Indonesia mampu menghasilkan karya sinematik kelas dunia, tanpa harus meninggalkan akar budaya dan nilai-nilai spiritualnya.
Dengan keberhasilan ini, sinema Indonesia tak hanya semakin berwarna, tapi juga siap menatap masa depan dengan imajinasi yang cerdas dan penuh harapan.