Yangon, Myanmar — Konflik berkepanjangan di Myanmar kembali memakan korban jiwa dalam jumlah besar. Serangan udara yang dilakukan oleh militer junta Myanmar (Tatmadaw) menghantam wilayah pemukiman di distrik Sagaing, salah satu basis kuat kelompok perlawanan sipil, menyebabkan sedikitnya 46 warga sipil tewas, termasuk anak-anak dan lansia.
Serangan terjadi pada Rabu malam (10/7), saat warga sedang menghadiri upacara keagamaan di sebuah biara. Dua jet tempur menjatuhkan bom udara dan menembaki daerah sekitar yang diduga menjadi lokasi persembunyian kelompok anti-junta.
Serangan Brutal Terkoordinasi
Menurut kelompok pemantau HAM lokal, Myanmar Witness, serangan dilakukan secara sistematis dalam dua gelombang, diduga untuk memaksimalkan kerusakan. Sebuah sekolah dan klinik darurat yang dibangun warga juga turut hancur dalam serangan tersebut.
“Ini adalah kejahatan perang terang-terangan. Militer tahu bahwa di tempat itu ada banyak warga sipil,” ujar juru bicara Aliansi Nasional untuk Demokrasi Federal, salah satu kelompok perlawanan sipil.
Dunia Internasional Bereaksi Keras
Serangan ini memicu kecaman global. PBB, Uni Eropa, dan ASEAN menyerukan penyelidikan internasional atas pelanggaran HAM berat yang terus dilakukan junta sejak kudeta militer 2021.
Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri Anthony Blinken menyebut aksi tersebut “mengerikan dan tidak manusiawi”.
Namun hingga kini, Dewan Keamanan PBB belum dapat menyepakati sanksi tambahan karena veto dari China dan Rusia yang masih menjadi pendukung junta Myanmar.
Krisis Kemanusiaan Semakin Memburuk
Data dari UNHCR menyebut lebih dari 1,8 juta warga Myanmar telah mengungsi sejak pecahnya konflik. Sagaing menjadi salah satu daerah paling terdampak, dengan lebih dari 500 ribu pengungsi internal dan akses bantuan kemanusiaan yang sangat terbatas akibat blokade militer.
Sementara itu, pemerintah bayangan Myanmar (NUG) menyerukan perlawanan total dan memperingatkan bahwa junta akan terus melakukan pembantaian jika dunia tetap diam.